Selasa, 24 Agustus 2010

Tidak Semestinya

Kadang kehidupan berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan bahkan kehidupan juga bisa tidak berjalan sesuai apa yang kita upayakan.
Seringkali ketika ketidaksesuaian itu terjadi kehidupan sepertinya tidak memihak kepada kita, kita kecewa, terluka, sibuk menyalahkan segala faktor yang ada, yang sering kita sebut sebagai keadaan.

Lalu salahkah kita ketika merasa terluka, kecewa, dan mencari sesuatu untuk dipersalahkan atas segaka sesuatu yang berjalan tidak dalam jalur “semestinya”?
Tidak bolehkah kita mengeluh..atau berkata “ini tidak semestinya”??? Jawabannya tentu saja kita boleh kecewa,boleh terluka, namun kita tidak seharusnya untuk mengeluh dan sibuk menyalahkan keadaan.

Mengapa tidak? Karena hal itu hanya memperburuk keadaan kita yang sudah terlanjur tidak sesuai dengan keinginan dan harapan kita.

Lalu, harus bagaimana? Akan lebih baik jika kita renungi sejenak apa yang menjadikan hal tersebut tidak sesuai dengan keinginan kita, cukup sejenak saja, karena jika terlalu lama menelaah penyebabnnya kita akan kehabisan waktu untuk meneruskan kehidupan kita. Setelah kita memahami penyebabnya, berjanjilah pada diri kita bahwa kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Atau jika merasa tidak ada yang salah dalam proses penelaahan kita, maka berjanjilah untuk senantiasa tampil maksimal dan mengembangkan diri kita untuk lebih baik dalam mem-proses setiap upaya yang kita lakukan.

Sulit memang untuk berproses maksimal dan terus lebih baik. Namun bukan hal yang tidakmungkin. Keyakinan bahwa kita bisa akan menggiring kita kearah prestasi yang kita inginkan, karena keyakinan tersebut akan memberikan energy lebih pada kita dalam proses pencapaiannya.




Apa yang tertera ini, aku tuliskan kita. Yang artinya aku, kamu, mereka, dia, kita semua, yang dalam kehidupan pernah bahkan sering menemukan kekecewaan dan sesuatu yang berjalan tidak semestinya.

Kehidupan ini berjalan terus seiring proses pembelajaran kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam setiap hari-harinya. Ketidak-semestian adalah jalan bagi kita untuk menjadi pribadi yang seharusnya. Tidak ada yang patut disalahkan, karena semuanya adalah hal terbaik dan yang ter-benar dari apa yang bisa diberikan oleh kehidupan untuk kita.

Selamat berjuang untukku dan untukmu, untuk kita semua manusia-manusia yang siap berkembang 

Rabu, 11 Agustus 2010

Ketika “Keren” menjadi sebuah hambatan (Untuk anda yang Lama menjadi seorang seperti Kesya)


Fei (bukan nama sebenarnya), seorang gadis cantik yang memiliki segudang prestasi akademik, saat SMA dulu ia seringkali yang menjadi juara kelas, beberapa kali ia ikut olimpiade science. Selain kegiatan akademik, Fei juga aktif dalam dunia modeling, beberapa kali ia pernah menjadi juara daerah dalam perlombaan peragaan busana.
Hingga saat kuliah Fei tetap memantapkan prestasinya pada bidang akademik dan non-akademik, penampilannya yang kian trendy dan gaul menjadikan ia gadis yang lumayan popular di kampusnya. Ditambah dengan kepribadiannya yang cenderung supel dan ramah, menjadikan Fei makin banyak dikenal.
Sayangnya, seringkali kesempurnaan tersebut bias teralihkan oleh penampian Fei yang sangat modis. Diluar kampus ketika Fei berkenalan dengan orang asing, seringakali banyak orang yang menganggap Fei adalah gadis yang hanya bisa menghabiskan waktu berbelanja, salonan, dan bergaul. Lebih ekstrim seringkali Fei dianggap sebagai gadis yang tidak berotak.
Mendapati cerita itu saya jadi teringat sebuah Film berjudul “Legally Blonde” , dimana pemeran wanitanya, Elle, merupakan seorang gadis pirang cantik-modis, yang juga mendapat perlakuan dilecehkan akibat warna rambut pirangnya dan penampilannya yang sangat modis, dikarenakan stereotype yang berkembang dimasyarakat Barat bahwa gadis dengan rambut pirang merupakan gadis-gadis dengan intelegensi rendah, yang hanya menghabiskan waktu untuk menjadi pengabdi fashion dan sibuk menggaet lelaki. Stereotype tersebut dipatahkan Elle yang ternyata bisa lulus dari sebuah Universitas ternama di Amerika, pada bidang hukum dengan prestasi yang gemilang.
Saya juga mendapati cerita yang berkesebalikan, Kesya (bukan nama sebenarnya), seorang rekan kerja saya, yang sangat pintar dan cerdas, Kesya juga cenderung terlihat dewasa karena penampilannya yang sangat konservatif atau dalam bahasa awam kita menyebutnya dengan bahasa “kuno”. Suatu hari saya berbincang dengannya, kebetulan topic yang dibahas adalah mengenai mode, dalam perbincangan itu ternyata Kesya tidak seperti yang saya bayangkan, pengetahuannya mengenai mode pakaian ternyata lumayan banyak, sampai akhirnya saya bertanya padanya mengapa ia tidak mengaplikasikan pengetahuan mode tersebut pada dirinya. Sebuah jawaban mengejutkan saya dapatkan darinya, ia tidak mengikuti mode karena kuatir orang-orang akan menganggapnya sebagai seorang yang tidak professional dan kurang pintar, lalu kemudian saya bertanya lagi bagaimana orang se-cerdas ia bisa berfikir demikian. Kesya menceritakan bahwa setelah ia lulus kuliah, ia pernah mencoba menyamankan dirinya dengan memotong rambutnya dengan model terbaru dan mencatnya dengan warna trend masa itu, namun apa yang terjadi akibat penampilannya tersebut, ia seringkali gagal dalam interview kerja disebabkan “first impression” interviewer menganggapnya sebagai gadis yang kurang mumpuni dalam pekerjaan yang menuntut analisa pemikiran yang tajam dan hanya mementingkan penampilan semata, jawaban itu ia dapat dari seorang temannya yang kemudian mendapat pekerjaan yang sama-sama mereka lamar, dan temannya tersebut menanyakan kepada interviewer yang bertugas, dan jawaban itulah yang ia terima. Sejak itu Kesya enggan mengikuti trend mode lagi.
Pengalamanan Fei dan Kesya sebagai suatu cermin, bagaimana suatu stereotype sudah berkembang sejak lama dalam masyarakat kita dan menimbulkan suatu labeling buruk mengenai konsep berpenampilan “pintar” dan “tidak pintar”. Apakah seseorang dengan tingkat kecerdasan tinggi tidak berhak berpenampilan menarik dan trendy hanya untuk menuntut pengakuan masyarakat bahwa mereka adalah si “pintar”, haruskah mereka tampil dalam keadaan berkacamata, berpakaian kuno, menenteng buku-buku besar, bertatanan rambut seadanya, hanya karena tidak ingin dianggap terlalu banyak menghabiskan waktu pada mode dan melupakan pembelajaran.
Ya kita bisa saja tidak perduli apa yang mereka katakan, bisa saja kita mencoba untuk tidak perduli dan menjadi diri kita apa adanya. Namun ketika stereotype itu sudah masuk kedalam mind-set masyarakat sehingga banyak memperngaruhi aspek kehidupan lainnya seperti pekerjaan. Tentu saja kita tidak bisa mengabaikan hal tersebut karena pekerjaan akan menjadi salah satu tolak ukur dan pembuktian keberhasilan seseorang, dalam pekerjaanlah seseorang bisa mengaktualisasikan apa yang sudah dipelajari dirinya, apa daya jika untuk menuju proses pembuktian itu langkahnya sudah dijegal terlebih dahulu layaknya apa yang cerita Kesya.
Sebagai contoh lain bagaimana stereotype itu sudah menjalar kesemua penjuru dunia, kita lihat film-film yang saat ini beredar, kebanyakan tokoh wanita dan pria yang pintar disimbolkan dengan sosok yang culun, tidak terkenal, dan terkesan kutu buku. Sedang untuk tokoh yang trendy, cantik-tampan, dan popular. Walaupun ada beberapa film yang mengsimbolkan seorang yang “all-out” yaitu seseorang yang pintar, trendy, fashionable, juga popular, namun terbatas adanya tidak sebanding dengan yang saya ungkapkan sebelumnya.
Bisa jadi konsep film yang berkembang ingin membuat kita menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Namun pertanyaannya adalah ketika seseorang bisa menjadi pintar sekaligus berpenampilan baik apakah hal itu harus disembunyikan, agar mendapat pengakuan masyarakat? Seperti apa yang dilakukan oleh Kesya? Tentu saja harapannya saya ingin semua orang berkata “tidak”, dan saya harap dengan pemaparan yang saya berikan ini sedikit banyak menjadi point of view bagi kita semua untuk mulai meninggalkan labeling yang sudah terlanjur berkembang dan mengakar di sekitar kita.
Disinilah saatnya kita harus mulai berfikir bahwa memberikan label dan berprasangka hanya dari apa yang Nampak harus mulai kita tinggalkan, mungkin bagi anda sekalian yang enggan dimasukan bagian pada kata “kita”, karena merasa sudah meninggalkan pola fikir macam demikian, tanpa bermaksud memaksakan penggunaan kata “kita”, saya hanya ingin anda juga bisa ikut membantu menghilangkan stereotype tersebut dengan point of view anda.
Dalam bahasa ekstrim saya, saya membahasakan dengan “sudah tidak zaman lagi orang pinter tampil cupu” yang artinya secara implicit saya ingin menggugah bahwa berpenampilan menarik dan mengikuti zaman bukan hambatan bagi kita untuk menjadi pintar. Sudah tidak zaman juga bukan berarti kita harus selalu mengikuti zaman, jika merasa nyaman dengan menjadi diri anda, dan menurut anda hal tersebut bukan hambatan bagi pengembangan aktualisasi diri anda ya jalani saja. Kata “sudah tidak zaman lagi” dan “cupu” yang saya gunakan secara ektrim itu, sebetulnya mewakili opini public tentang penggunaan sebuah kata untuk melabeling orang lain, yang tentu saja tidak nyamankan untuk dibaca, bukan untuk seseorang yang dikategorikan cupu melainkan bagi orang yang mengkategorikannya. Dalam arti implicit lebih lanjut saya bermaksud menggugah para pembaca bahwa penampilan apapun kini yang dipilih seseorang tidak lagi ada kategori “cupu” ataupun “trendy”, artinya secara sederhana bagaimanapun penampilah anda, saya, kita semua, tidak akan lagi kita dikategorikan sebagai orang yang trendy ataupun cupu, karena kita semua dinilai sama.
Jadi kalimat “sudah-tidak-zaman-lagi” artinya bukan kita harus merubah penampilan kita menjadi harus selaras zaman, justru point of view itu harus membuat kita merubah sudut pandang kita bahwa penampilan semua orang itu didasari atas kenyamanan dan kepantasan bagi dirinya, bukan dari nyaman dan pantas menurut kita yang memandang. Penting adanya kita menerapkan prinsip “netral” dalam memandang seseorang dari apa yang melekat padanya, sekiranya dalam lubuk hati kita mengatakan seseorang tersebut terlihat modis dengan apa yang melekat padanya, itu bukan berarti ia terjauh dari konsep bilangan biner,phytagoras, teori relativitas, atau segala sesuatu yang menyangkut penelaahan bersifat scientist. Karena ternyata kecerdasan juga tidak hanya menyangkut kemampuan-kemampuan angkawi atau peneliatian bersifat IPA semata.
Siapa bilang seorang dokter atau Programmer lebih pintar dari seorang bintang film, bukankah untuk memerankan orang lain yang tidak sesuai karakternya itu memerlukan analisa dan perubahan berperilaku, lalu apakah itu mudah? Saya yakin tidak, terbukti tidak semua orang mampu melakukannya dengan baik. Atau jika menginginkan suatu bukti yang lebih bersifat kuantitatif, tahukan anda berapa IQ seorang Marilyn Monroe (penyanyi dan bintang Film cantik tersohor Amerika)atau Winona Ryder(Bintang Film Cantik Amerika), ternyata IQ keduanya mampu mengalahkan seorang professor Fisika terkenal di Amerika. Itu bukti bahwa penampilan jangan sampai membodohi kita semua dalam mendasarkan opini “pintar” atau “kurang pintar” dalam menilai kecerdasan seseorang. Marilah kita bersikap netral, bahwa tidak ada lagi kategorisasi penampilan “cupu” atau “modis”
Terakhir, memang apa yang saya bahas kali ini pastinya bertentangan dengan pepatah lama yang mengatakan “pakaian adalah cerminan kepribadiaan seseorang”, namun sebenarnya hal ini sinergis, karena yang saya nilai disini penilaian terhadap aspek kecerdasan bukan aspek kepribadian. Tentang bagaimana pakaian juga mempengaruhi penilaian aspek kepribadian, saya akan bahas nanti dipenulisan saya yang berikutnya. Terima Kasih